Mencari

Jumat, 23 Juli 2010

Adab Mulia Menasehati Saudara Kita

Nasehat menasehati menuju kebenaran harus digalakkan, bagi yang dinasehati seharusnya ia berterima kasih kepada orang yang telah menunjukkan kekurangan dan kesalahannya, hanya saja hal ini jarang terjadi, pada umumnya manusia tidak suka disalahkan apalagi kalau teguran itu disampaikan kepadanya dengan cara yang tidak baik.

Seorang pemberi nasehat haruslah mengetahui metode yang baik agar nasehatnya dapat diterima oleh orang lain. Diantara metode nasehat yang baik adalah memberi nasehat kepada orang lain secara rahasia tanpa diketahui oleh orang lain. Dalam kesempatan ini akan kami nukilkan penjelasan para ulama tentang adab yang satu ini. Imam Ibnu Hibban (wafat tahun 534 H) berkata, Nasehat itu merupakan kewajiban manusia semuanya, sebagaimana telah kami sebutkan sebelum ini, tetapi dalam teknik penyampaiannya haruslah dengan cara rahasia, tidak boleh tidak, karena barangsiapa yang menasehati saudaranya dihadapan orang lain maka berarti dia telah mencelanya, dan barangsiapa yang menasehatinya secara rahasia maka dia telah memperbaikinya. Sesungguhnya menyampaikan dengan penuh perhatian kepada saudaranya sesama muslim adalah kritik yang membangun, lebih besar kemungkinannya untuk diterima dibandingkan menyampaikan dengan maksud mencelanya.

Kemudian Imam Ibnu Hibban menyebutkan dengan sanadnya sampai kepada Sufyan, ia berkata, Saya berkata kepada Mis”ar, ”Apakah engkau suka apabila ada orang lain memberitahumu tentang kekurangan-kekuranganmu?” Maka ia berkata, ”Apabila yang datang adalah orang yang memberitahukan kekurangan-kekuranganku dengan cara menjelek-jelekkanku maka saya tidak senang, tapi apabila yang datang kepadaku adalah seorang pemberi nasehat maka saya senang”.

Kemudian Imam Ibnu Hibban berkata bahwa Muhammad bin Said al Qazzaz telah memberitahukan kepada kami, Muhammad bin Mansur telah menceritakan kepada kami, Ali ibnul Madini telah menceritakan kepadaku, dari Sufyan ia berkata, Talhah datang menemui Abdul Jabbar bin Wail, dan di situ banyak terdapat orang, maka ia berbicara dengan Abdul Jabbar menyampaikan sesuatu dengan rahasia, kemudian setelah itu beliau pergi. Maka Abdul Jabbar bin Wail berkata, ”Apakah kalian tahu apa yang ia katakan tadi kepadaku?” Ia berkata, ”Saya melihatmu ketika engkau sendang shalat kemarin sempat melirik ke arah lain”.

Imam Ibnu Hibban berkata, Nasehat apabila dilaksanakan seperti apa yang telah kami sebutkan akan melanggengkan kasih sayang, dan menyebabkan terealisasinya ukhuwah.

Imam Ibnu Hazm (wafat tahun 456H) berkata, Maka wajib atas seseorang untuk selalu memberi nasehat, baik yang diberi nasehat itu suka ataupun benci, tersinggung atau tidak tersinggung. Apabila engkau memberi nasehat maka nasehatilah secara rahasia, jangan dihadapan orang lain, dan cukup dengan memberi isyarat tanpa terus terang secara langsung, kecuali apabila orang yang dinasehati tidak memahami isyaratmu maka harus secara terus terang. Janganlah engkau menasehati orang lain dengan syarat nasehatmu harus diterima. Apabila engkau melampaui adab-adab tadi maka engkau yang dzalim bukan pemberi nasehat, dan gila ketaatan serta gila kekuasaan bukan pemberi amanat dan pelaksana hak ukuwah. Ini (-yakni memberi nasehat dengan syarat harus diterima-) bukanlah termasuk hukum akal dan hukum persahabatan melainkan hukum rimba, bagaikan seorang penguasa dengan rakyatnya dan tuan dengan hamba sahayanya.

Imam Ibnu Rajab (wafat tahun 795H) berkata, Al Fudhail (wafat tahun 187H) berkata, ”Seorang mukmin menutup (aib saudaranya) dan menasehatinya sedangkan seorang fajir (pelaku maksiat) membocorkan (aib saudaranya) dan memburuk-burukkannya”.

Apa yang disebutkan oleh al Fudhail ini merupakan ciri antara nasehat dan memburuk-burukkan, yaitu bahwa nasehat itu dengan cara rahasia sedangkan menjelek-jelekkan itu ditandai dengan penyiaran. Sebagaimana dikatakan, ”Barangsiapa mengingatkan saudaranya ditengah-tengah orang banyak maka ia telah menjelek-jelekkannya.

Dan orang-orang salaf membenci amar ma”ruf nahi mungkar secara terang-terangan, mereka suka kalau dilakukan secara rahasia antara yang menasehati dengan yang dinasehati, ini merupakan ciri nasehat yang murni dan ikhlash, karena si penasehat tidak mempunyai tujuan untuk menyebarkan aib-aib orang yang dinasehatinya, ia hanya mempunyai tujuan menghilangkan kesalahan yang dilakukannya.

Sedangkan menyebarluaskan dan menampakkan aib-aib orang lain maka hal tersebut yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta”ala berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang keji itu tersiar dikalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan akhirat. Dan Alleh mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui.” (An Nur : 19).

Dan hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan menutup aib seorang muslim tidak terhitung banyaknya.

Imam Syafi”i (wafat tahun 204H) berkata dalam syairnya:
Hendaklah engkau sengaja mendatangiku untuk memberi nasehat ketika aku sendirian
Hindarilah memberi nasehat kepadaku ditengah khalayak ramai
Karena sesungguhnya memberi nasehat dihadapan banyak orang sama saja dengan memburuk-burukkan, saya tidak suka mendengarnya
Jika engkau menyalahi saya dan tidak mengikuti ucapanku maka janganlah engkau kaget apabila nasehatmu tidak ditaati.


Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, Perlu diketahui bahwa nasehat itu adalah pembicaraan yang dilakukan secara rahasia antaramu dengannya, karena apabila engkau menasehatinya secara rahasia dengan empat mata maka sangat membekas pada dirinya, dan dia tahu bahwa engkau pemberi nasehat, tetapi apabila engkau bicarakan dia dihadapan orang banyak maka besar kemungkinan bangkit kesombongannya yang menyebabkan ia berbuat dosa dengan tidak menerima nasehat, dan mungkin pula ia menyangka bahwa engkau hanya ingin balas dendam dan mendeskreditkannya serta untuk menjatuhkan kedudukannya di mata manusia, sehingga ia tidak menerima isi nasehat tersebut, tetapi apabila dilakukan secara rahasia antara kamu dan dia berdua maka nasehatmu itu amat berarti bagi dia, dan dia akan menerimanya darimu.

Kapan dibolehkan memberi nasehat dihadapan orang lain?

Walaupun demikian ada beberapa perkecualian yang membolehkan atau mengharuskan seseorang untuk menasehati orang lain di depan banyak orang.

Salah seorang Imam Masjid di kota Khobar Saudi Arabia dalam salah satu khutbah Jum”ahnya mengatakan, Umat Islam, mereka itu memiliki kehormatan dan harga diri, oleh karena tiu haruslah kita menjaga hak-hak dan kehormatan mereka, haruslah kita memelihara perasaan mereka, tetapi kadang-kadang sesuatu nasehat yang akan engkau sampaikan kepada orang lain apabila engkau tunda, maka akan terlambat, maka harus sekarang juga engkau menasehatinya sebelum terlambat. Contohnya sebagaimana terdapat dalam Shahih Muslim. Dari Jabir bahwasanya ia berkata, ”Sulaik al Ghathafani datang (ke masjid) hari Jum”ah dan Rasulullah shallallahu ”alaihi wasallam sedang duduk di atas mimbar, maka Sulaik langsung duduk tanpa shalat terlebih dahulu, maka Rasulullah shallallahu ”alaihi wasallam bertanya kepadanya, ”Apakah engaku telah melaksanakan sholat dua rakaat?” Ia berkata, ”Belum” Maka beliau shallallahu ”alaihi wasallam memerintahkan kepadanya, ”Bangunlah dan shalatlah dua rakaat”.”

Ini bukannya sedang memburuk-burukkan atau menyiarkan kesalahan orang tersebut, karena saat itu adalah waktu yang tepat untuk menasehatinya, apabila dibiarkan maka akan terlewatkan, karena Rasulullah shallallahu ”alaihi wasallam memerintahkan setiap muslim yang masuk ke dalam masjid agar shalat dua rakaat terlebih dahulu sebelum ia duduk, perintah tersebut mengharuskan untuk dilaksanakan padaa saat itu juga tidak bisa ditunda sampai selesai shalat Jum”ah.

Akan tetapi apabila memungkinkan bagimu untuk menunda nasehat sampai selesainya majelis lalu engkau menasiehati sesreorang dihadapan orang lain di majelis tersebut maka hal ini tidak benar.

Sangat disayangkan sekali ketika kita mendengar tentang orang-orang yang termasuk memiliki kesungguhan dalam mencari dan menerima kebenaran, akan tetapi mereka berpecah belah, masing-masing di antara mereka memiliki nama dan sifat tertentu. Fenomena seperti ini sesungghunya tidak benar, dan sesungguhnya dien Allah itu satu dan ummat Islam adalah ummat yang satu, Allah berfirman: “Sesunggunya (agama tauhid) ini adalah agama kalian semua, agama yang satu dan Aku adalah Rab kalian maka bertakwalah kepada-Ku.” (Al Mu-minun: 52)

Dan Allah Ta”ala berfirman kepada nabi-Nya shallallahu ”alaihi wasallam:
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. (Al An”am : 159)

Dan Allah Ta”ala berfirman, “Dia telah mensyaratkan bagi kalian tentang dien yang telah diwasiatkan kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu tegakkanlah dien dan janganlah kalian berpecah belah tentangnya.” (Asy Syura: 13).

Apabila hal ini merupakan bimbingan Allah kepada kita maka seharusnya kita praktekkan bimbingan ini, kita berkumpul untuk mengadakan suatu pembahasan, saling berdiskusi dalam rangka ishlah (perbaikan) bukan untuk mendeskreditkan atau membalas dendam, karena sesungguhnya siapa saja yang membantah orang lain atau adu argumentasi dengan maksud mempertahankan pendapatnya atau untuk menghinakan pendapat orang lain dan bermaksud untuk mencela bukan untuk ishlah maka hasilnya tidak di ridhai oleh Allah dan rasul-Nya, pada umumnya demikian.

Kewajiban kita adalah untuk menjadi umat yang satu, kita tidak mengatakan bahwa setiap manusia tidak memiliki kesalahan, bahkan manusia itu memiliki kesalahan disamping memiliki kebenaran. Hanya saja pembicaraan kita sekarang ini mengenai cara memperbaiki kesalahan, maka bukan cara yang benar untuk memperbaiki kesalahan apabila kita menyebutkannya dibelakang orang tersebut sambil menjelek-jelekkannya, akan tetapi cara yang benar untuk memperbaikinya adalah berkumpul dengannya dan mendiskusikannnya, apabila terbukti setelah itu bahwa orang tersebut tetap mempertahankan kebatilannya maka saat itu kita memiliki alasan bahkan wajib atas kita untuk menjelaskan kesalahannya, dan memperingatkan manusia dari kesalahan orang tersebut, dengan demikian urusan-urusan menjadi baik.

Sedangkan perpecahan dan bergolong-golongan maka sesungguhnya yang demikian tidak disukai oleh siapapun, kecuali oleh musuh-musuh Islam dan musuh kaum muslimin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar