Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu ikatan atau akad yang sangat kuat dan mitsaqan ghalizan. Disamping itu perkawinan tidak lepas dari unsur mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ubudiyah (ibadat). Ikatan perkawinan sebagai mitsaqan gahlizn dan mentaati perintah Allah bertujuan untuk membina dan membentuk terwujudnya hubungan ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri dalam kehidupan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan syari’at agama Allah.
Di dalam Al-Qur’an Allah mengatakan bahwa perkawinan itu adalah salah satu sunnatullah, hidup berpasang-pasangan, hidup berjodoh-jodohan adalah nalura segala makhluk termasuk manusia. oleh karena itu, semua makhluk Tuhan baik hewan, tumbuh-tumbuhan dan manusia dalam kehidupannya ada perkawinan.
Firman Allah (QS. Adz Dzariyat : 49)
Terjemahnya :
Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.
Allah telah memilih dengan cara perkawinan manusia dapat berketurunan dan dapat melestarikan kehidupannya setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dan mewujudkan tujuan perkawinan.
Allah tidak ingin menjadikan manusia itu seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betinannya sebagai anarkhi dan tidak ada aturan yang mengaturnya. Demi menjaga martabat kemuliaan manusia, Allah menurunkan hukum sesuai dengan martabat manusia itu.
Sabda Rasulullah saw :
النكاح سنتى فمن رغب عن سنتى فليس منى (رواه مسلم)
Artinya :
Nikah itu adalah sunnahku, barang siapa yang benci kepada sunnahku bukanlah termasuk ummatku (HR Muslim)
Sebnagian orang ada yang ragu-ragu untuk kawin karena takut memikul beban berat dan menghindarkan diri dari kesulitan-kesulitan. Hal seperti ini adalah salah dan keliru karena Allah menjamin bahwa dengan kawin akan memberikan kepada yang bersangkutan jalan kecukupan, menghilangkan kesulitan-kesulitan dan memberikan kekuatan yang mampu mengatasi kemiskinan.
Bagi yang sudah mampu kawin dan nafsunya sudah mendesak dan takut terjeruus ke dalam perzinaan, maka hukumnya wajib. Orang tersebut wajib kawin sebab menjauhkan diri dari yang haram itu hukumnya wajib, orang tersebut tidak dapat melakukannya dengan baik kecuali jalan kawin.
Hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut merupakan hukum sarana, sama dengan hukum pokok, yakni menjaga diri dari perbuatan maksiat. Orang yang telah mempunyai kemauana dan kemampuan untuk melakukan perkawinan tetapi kalau tidak kawin, tidak dikhawatirkan untuk berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah sunat.
Bagi orang yang mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan dan tanggungjawab untuk melaksanakan kewajiban dalam rumah tangga, sehingga akan menelantarkan dirinya dan isterinya maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah haram.
Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah rasul, hikmah nikah ini antara lain: menyalurkan naluri sex, jalan mendapatkan keturunan yang sah, penyaluran naluri kebapakan dan keibuan, dorongan untuk bekerja keras, pengaturan hak dan kewajiban dalam rumah tangga dan menghubungkan antara dua keluarga besar (suami dan isteri)
- Sesungguhnya naluri sex adalah naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya menuntut jalan keluar. Apabila jalan keluarnya tidak memuaskan, maka banyaklah manusia yang mengalami kegoncangan dan kekacauan. Oleh karena itu, dia akan mencari jalan keluar yang jahat. Kawin adalah jalan yang paling alami dan paling sesuai untuk menyalurkan naluri sex.
- Kawin adalah jalan untuk mendapatkan keturunan menjadi mulia, keturunan menjadi banyak dan sekaligus melestarikan hidup manusia serta memelihara keturunannya.
- Orang yang telah kawin dan memperoleh anak, maka naluri kebapakan, naluri keibuan akan tumbuh saling lengkap-melengkapi dalam suasana hidup kekeluargaan yang menimbulkan perasaan ramah, perasaan saling mencintai dan saling sayang-menyayangi antara satu dengan yang lain
- Orang yang telah kawin dan memperoleh anak akan mendorong yang bersangkutan melaksanakan tanggung jawab dan kewajibannya dengan baik, sehingga ia akan bekerja keras untuk melaksanakan kewajibannya itu
- Melalui perkawinan akan timbul hak dan kewajiban suami isteri secara berimbang, menimbulkan adanya pembagian tugas antara suami isteri. Isteri mengatur dan mengurus rumah tangga, memelihara dan mendidik anak-anak, menciptakan suasana yang sehat dan serasi bagi suami untuk beristirahat melepas lelah dari bekerja keras mencair nafkah.
- Melalui perkawinan akan timbul rasa persaudaraan dan kekeluargaan serta memperteguh rasa saling cinta mencintai antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lain. hal ini juga berarti memperkuat hubungan kemasyarakatan yang baik menuju masyarakat Islam yang diridhai Allah swt.
Mahar (Maskawin)
Jika melangsungkan pernikahan, suami diwajibkan memberi sesuatu kepada si istri, baik berupa uang ataupun barang (harta benda). Pemberian inilah yang dinamakan mahar (maskawin).
Pemberian mahar ini wajib atas laki-laki, tetapi tidak menjadi rukun nikah; dan apabila tidak disebutkan pada waktu akad, pernikahan itu pun sah.
Banyaknya maskawin itu tidak dibatasi oleh syariat Islam, melainkan menurut kemampuan suami beserta keridhaan si istri. Sungguhpun demikian, suami hendaklah benar-benar sanggup membayarnya; karena mahar itu apabila telah ditetapkan, maka jumlahnya menjadi utang atas suami, dan wajib dibayar sebagaimana halnya utang kepada orang lain. Kalau tidak dibayar, akan dimintai pertanggungjawaban di Hari kemudian. Juanglah terpedaya dengan kebiasaan bermegah-megah dengan banyak mahar sehingga si laki-laki menerima perjanjian itu karena utang, sedangkan ia tidak ingat akibat yang akan menimpa dirinya. perempuan (istri) pun wajib membayar zakat maharnya itu sebagaimana dia wajib membayar zakat uangnya yang dipiutangnya.
Jika mahar itu belum ditetapkan banyaknya, tidak wajib membayar seperdua, yang wajib hanyalah mut’ah, bukan mahar. Pendapat ini berdasar firman Allah swt diatas. Allah swt, menetapkan seperdua dari mahar itu apabila telah ditetapkan banyaknya. Sebagian ulama berpendapat wajib juga membayar seperdua; seperdua ini dihitung dari mahar misil atau dari ketetapan hakim.
- A. Syarat Sah Nikah
Syarat-syarat pernikahan merupakan dasar sahnya pernikahan. Jika syarat-syarat ini terpenuhi, maka pernikahan tersebut sah dan akan menimbulkan kewajiban-kewajiban dan hak-hak pernikahan.
Syarat syah nikah ada 2 :
- Perempuan yang akan dinikahi itu halal oleh laki-laki yang ingin menjadikannya sebagai isteri, Maksudnya wanita yang akan dinikahi tersebut bukan wanita yang haram dinikahi, baik karena haram untuk sementara maupun haram untuk selamanya.
- Akad nikahnya dihadiri oleh para saksi. Menurut jumhur ulama, pernikahan yang tidak dihadiri oleh para saksi adalah tidak sah. Jika pada waktu ijab tidak ada saksi, maka nikahnya tidak sah, sekalipun sesudah itu diumumkan kepada orang ramai dengan cara lain. jika para saksi hadir dipesan oleh pihak yang mengadakan akad nikah agar merahasiakan dan tidak memberitahukannya kepada orang ramai, maka pernikahannya tetap sah.
Rasulullah saw bersabda :
عن عائشة رضى الله عنها قال الله صلى الله عليه وسلم لانكاح الا بولى وشاهدى عدك (رواه التدر قضنى)
“Dari Aisyah, Rasulullah saw bersabda: tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil (HR. Darul Quthni)
Kata tidak di sini maksudnya tidak sah, yang berarti menunjukkan bahwa mempersaksikan terjadinya ijab qabul merupakan syarat dalam pernikahan.
Saksikan yang menghadiri akad nikah haruslah dua lelaki muslim, baligh, berakal, melihat dan mendengar/serta mengerti atau faham akan maksud akad nikah tersebut.
Sayyid Sabiq mengatakan syarat untuk menjadi saksi harus berakal sehat, dewasa dan mendengarkan pembicaraan dari kedua belah pihak yang berakad tersebut dan memahami bahwa ucapan-ucapannya itu maksudnya adalah sebagai ijab qabul pernikahan. Jika yang menjadi saksi itu anak-anak atau orang gila, atau orang bisu atau orang yang sedang mabuk, maka pernikahannya tidak sah, sebab mereka dipandang seperti tidak ada.